Urgensi Entrepreneur University Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Banyak kisah sukses orang terkenal di dunia maupun di Indonesia, seperti John E. Rockefeller, raja minyak dari Amerika. Kesuksesan usahanya bukan karena ia punya gelar. Ia terpaksa meninggalkan sekolahnya saat usianya 16 tahun karena tekanan ekonomi keluarganya. Tapi, karena ia seorang yang tekun, serius dalam bekerja, menyukai tantangan dan perjuangan, membuatnya menjadi seorang pengusaha yang sukses dan salah satu yang terkaya di dunia.

Begitu juga Matsushita Konosuke, pengusaha elektronik terbesar di Jepang yang tak bergelar akibat kondisi ekonomi keluarganya. Anak petani ini terpaksa tidak dapat menyelesaikan studinya di pendidikan dasar. Namun, berkat kemauan dan kerja kerasnya, ia pun membuktikan mampu menjadi pengusaha sukses. Termasuk Bill Gates, sukses dengan Microsoftnya. Malah, dia drop-out dari Harvard University.



Pengusaha bisnis Es Teler 77 dan Mie Tek Tek, Sukyanto Nugroho MBA, juga tak bergelar. Di sekolah, ia hanya peringkat 40 dari 50 murid. Ijazahnya hanya sampai SMP karena dia hanya tahan 3 bulan di kelas 1 SMA. Kalau pun dibelakang namanya ada title MBA, itu pun bukan Master of Business Administration, melainkan singkatan dari Manusia Bisnis Asal-asalan. Dan nyatanya, ia pun bisa sukses jadi pengusaha. Bob Sadino demikian juga. Dulunya, ia mantan buruh kapal barang, supir taksi, dan penjual telur, tetapi karena ia tak ingin hidup malas-malasan dan tak ingin gengsi-gengsian, akhirnya membuatnya sukses sebagai pengusaha supermarket Kem Chick’s. Dan masih banyak contoh pengusaha sukses lainnya yang menunjukkan bahwa tanpa gelar sarjana pun kita bisa jadi pengusaha sukses.



Saya yakin, jika kita mau kerja keras, seperti yang dicontohkan oleh pengusaha sukses di atas, usaha kita akan berhasil. Jadi, gelar seseorang tak menjamin bisnisnya berhasil. Bahkan, mereka yang mempunyai gelar dan IPK tinggi cenderung hanya mencari-cari kerja daripada membangun usaha. Artinya, ia lebih memilih menjadi pegawai negeri atau karyawan perusahan swasta. Kalau jadi pengusaha kerap kali bisnisnya sulit maju. Itu karena, ia telah banyak tahu apa risiko bisnis yang akan dihadapinya, terlalu banyak dipikir. Akhirnya, ia tak berani menghadapi risiko bisnis. Maka, ia lebih memilih menjadi pegawai negeri, karyawan perusahaan swasta. Tapi saya melihat manusia yang layak menjadi pengusaha justru mereka yang berani menghadapi risiko. Kalau ada tantangan, ia mencoba untuk tidak mudah menyerah. Karena itu, gelar seseorang tak menjamin bisa menjadi pengusaha. Namun sebaliknya, yang tak bergelar justru banyak yang menjadi pengusaha.

Ijazah atau pun sertifikat, memang kerap kali membuat kita bangga. Tapi, kita jangan lantas lupa diri untuk meraih prestasi yang lebih baik lagi. Sebab pada dasarnya, ijazah atau sertifikat belum menjadi jaminan untuk kita meraih sukses dalam berkarir. Sebaliknya, jika kita ingin jadi pengusaha, barangkali ijazah itu sebaiknya diabaikan. Hal itu karena melihat bahwa untuk menjadi pengusaha ternyata tidak harus memiliki ijazah. Karena itu, jika kita ingin menjadi pengusaha maka tidak lagi berpikir untuk melamar pekerjaan pada perusahaan orang lain.

Sudah menjadi suatu kebutuhan masyarakat untuk berdirinya Lembaga Pendidikan Entrepreneurship semacam ‘Entrepreneur University’ yang tanpa ujian dan tanpa ijazah. Alasannya, bahwa kalau harus ada ujian dan ada nilai, nanti tentu diwajibkan menghafal dan mengingat. Dan itu berbeda kalau kita mendidik seseorang untuk menjadi pengusaha.

Dalam dunia riil bisnis, yang namanya bertanya itu boleh-boleh saja. Bahkan, menyontek usaha orang lain pun sah-sah saja. Meniru kiat-kiat sukses pengusaha lain pun juga boleh. Tidak ada yang melarang. Menurut saya calon pengusaha yang seperti itu justru sosok pengusaha yang kreatif. Sehingga sistem pendidikannya adalah bagaimana sebaiknya perilaku-perilaku semacam itu berubah menjadi dirinya.

Sementara kalau materi kuliah diberikan lantas diujikan, itu berarti sama halnya dengan menguji pengetahuan. Kalau kita pakai ujian, kita diajarkan untuk berpikir linear. Padahal, untuk jadi pengusaha kita lebih ditekankan berpikir lateral. Jadi, yang terpenting adalah bagaimana agar nilai-nilai entrepreneurship itu jadi jiwanya. Artinya, tidak hanya otak berpikir saja yang dikembangkan, tapi juga otak emosionalnya.
Dengan komitmen tersebut, penulis optimis akan mampu melahirkan banyak entrepreneur muda ke depan. Sehingga akan mendorong kemajuan dan kemandirian ekonomi bangsa ini. (FF)

0 komentar:

Posting Komentar

 
;