Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si. dan Keprihatinannya Terhadap Kondisi Pendidikan Indonesia

Menggurui bukanlah hal yang baik dalam kehidupan. Tetapi mengabdikan diri menjadi seorang ‘guru’ demi kemajuan kaum muda adalah perbuatan yang mulia. Adalah Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si, seorang guru PKn SMAN 13 di wilayah Jakarta Utara yang memiliki aktivitas rutin lain di luar aktivitas mengajar di sekolah. Ia menjadi Pembina sebuah organisasi siswa SMA bernama Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Utara (KIRJU). Jabatan ini telah diembannya selama 15 tahun, yaitu sejak tahun 1998 hingga saat ini.

Ketika ditanya mengenai alasan dirinya tetap bertahan menjadi Pembina kelompok ilmiah remaja yang didirikan pada tahun 1982 ini, ia mengatakan bahwa bahwa KIRJU memiliki benang merah dalam hidupnya. Aktivitas di KIRJU memberi inspirasi kepada beliau untuk mau menulis. Melalui KIRJU beliau bisa menulis berbagai artikel, melakukan penelitian dan sekarang selain menjadi guru, dan juga menjadi seorang penulis buku ajar.



Hal menarik dan perlu diacungi jempol selama perjalanannya menjadi Pembina KIRJU adalah bahwa ia tidak pernah sekalipun digaji. Menurut Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si organisasi Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) berbeda dengan organisasi pemuda lainnya. Organisasi KIR tidak perlu banyak orang (massa) tetapi lebih menitikberatkan kepada prestasi. KIR juga mengajarkan orang untuk selalu ingin tahu, mau menulis, mau meneliti dan jujur. KIR memberikan banyak hal berbeda yang mungkin tidak kita peroleh di sekolah. Kecintaannya pada organisasi ini rupanya cukup untuk membuat ia rela menyisihkan waktu, tenaga dan pikirannya walaupun seringkali kegiatan organisasi ini mengambil waktu-waktu di luar jam kerja/sekolah dan bahkan mengambil hari libur untuk kegiatannya.


Mengembangkan dan meneruskan kelangsungan KIRJU membuat dirinya kini dikenal sebagai seorang guru yang kreatif. Mitos bahwa guru kurang dapat mengembangkan dirinya terpatahkan oleh Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si yang selalu aktif berkreasi dan memberikan pendampingan kepada para siswa. Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si adalah contoh sosok yang mencintai bidangnya dan mau menjadi ‘relawan’ demi sebuah kemajuan dan keberhasilan.

Aktif menjadi pengajar di sekolah, menjadi salah satu cita-cita yang diinginkan Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si. Setidaknya, menjadi seorang guru mampu memberikan pendidikan secara kritis terhadap anak didiknya. Untuk itu, dalam mengajar istri dari Mochamad Basuki Winoto ini, selalu mengajarkan siswa-siswinya terhadap hal-hal yang kontekstual, tidak melulu berdasarkan pada buku pelajaran. Selain menjadi pengajar, Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si aktif di sebuah organisasi guru bernama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang berdiri sejak Januari 2011. Di FSGI, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal. Guru yang sekaligus penulis buku ini juga menjadi Ketua Umum Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ).

Sebelum aktif di FSGI, selama 8 tahun ia aktif di Organisasi PGRI, salah satu wadah untuk guru. Namun selama menjadi jadi anggota PGRI ia merasa tidak pernah terlibat atau dilibatkan apapun dalam kegiatan, kecuali dimintai iuran bulanannya. Bahkan ketika pada tahun 2005 digugat Akbar Tanjung secara perdata karena tulisan di buku teks PKn SMA kelas XI KBK 2004, PGRI sama sekali tidak memberikan bantuan hukum terhadapnya. Untuk itu pada Agustus 2005 Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si memutuskan untuk keluar dari PGRI dan mendirikan FSGI. ” Karena saya dan kawan-kawan yang tergabung di FSGI memiliki ideologi dan tujuan yang sama dalam membangun guru kritis. PGRI tak seideologi dan tak sevisi dengan kami”, ujarnya.

Dengan didirikannya FSGI sebagai wadah organisasi guru, Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si berharap perjuangannya dalam membangun pendidikan yang sesuai dengan konstitusi bisa tercapai. Sehinggga keresahannya atas pendidikan selama ini bisa terobati. Namun ia juga sadar perjuangan ini tidak bisa dilakukan seorang diri, butuh perjuangan dan pengorbanan dari pihak lain. Organisasi guru selama ini cenderung menjadi legitimasi atas berbagai kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Untuk itu, FSGI, organisasi yang didirikannya selama ini mempunyai posisi tawar yang kuat atas berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia.



Keprihatinan Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si Terhadap Kondisi Pendidikan Indonesia.
Berawal dari sebuah keprihatinan terhadap kondisi pendidikan nasional yang semakin hari dinilai tidak berpihak kepada semua lapisan masyarakat Indonesia, Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si mencoba mengkritik sistem pendidikan nasional. Pengajar di SMAN 13 Jakarta ini sangat miris dengan dunia pendidikan saat ini. Baginya, sistem pendidikan saat ini lebih buruk dari era orde baru. Setidaknya saat orde baru pendidikan dikelola secara murah,kelompok miskin pun dapat menikmati pendidikan tinggi. Tapi sekarang pendidikan dikelola secara liberal, sehingga pendidikan berkasta-kasta, ada sekolah internasional, RSBI, Reguler dan Gurem. Ada diskriminasi terhadap pendidikan dan hal tersebut tergantung pada kemampuan masyarakat untuk membayar. Pendidikan dipandang sebagai konsumsi dan komoditi, bukan lagi sebagai hak asasi manusia. Padahal pendidikan adalah hak bagi semua warga Indonesia. Bagi ibu tiga anak ini pendidikan sangat menentukan kemajuan keberadaban suatu bangsa dan merupakan amanat konstitusi serta menjadi tujuan bagi republik ini.

Di Indonesia, menurut Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si harus belajar dari keberhasilan Finlandia dalam membangun sistem pendidikan nasionalnya. Negara tersebut, konsisten membenahi pendidikannya selama hampir 40 tahun dan sekarang menempati posisi teratas untuk tes PISA negara-negara OECD. Finlandia membenahi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk menghasilkan guru-guru yang berkualitas. Hanya lulusan terbaik di SMA yang bisa masuk LPTK, kesejahteraan guru juga dijamin dengan memberi gaji sangat tinggi, membangun pendidikan yang menyenangkan buat guru dan peserta didik, membangun budaya baca, membangun perpustakaan yang sangat luar biasa, memfasilitasi sarana dan prasarana, dll. Di Filandia pendidikan gratis dan bermutu. Ini sangat jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan negara Indonesia.

Guru yang berani dan kritis boleh jadi cap bagi Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si. Wanita bersuara lantang dan berapi-api jika bicara soal sistem pendidikan di Indonesia ini, berani bicara tegas di depan persidangan Mahkamah Konstitusi, yang akhirnya mengetok palu kematian bagi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di sekolah-sekolah milik pemerintah. sistem yang dinilainya merupakan komersialisasi pendidikan yang harus ditolak.

“Pendidikan sudah dipandang sebagai komsumsi dan komodoti, bukan lagi sebagai hak asasi manusia. Padahal pendidikan adalah hak bagi semua warga Indonesia yang diamanatkan konstitusi serta menjadi tujuan bagi bagi republik ini,” ujarnya suatu ketika, saat masih berjuang mengkampanyekan penghapusan RSBI.
Liberalisasi pendidikan dalam pandangan Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si, telah melahirkan sistem pendidikan yang berkasta-kasta, ada sekolah internasional, RSBI, reguler dan gurem. “Ada ­diskriminasi terhadap pendidikan dan hal tersebut tergantung kemampuan masyarakat untuk membayar,” papar Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si yang pernah menghadapi tuntutan Akbar Tanjung karena menu­lis buku PKN untuk SMA berisi putusan kasus korupsi Bulog yang melibatkan politisi senior Partai Golkar itu.

Banyak hal yang dikritik pendidik berusia 42 tahun ini. Ujian Kompetensi Guru (UKG), termasuk salah satunya yang ia nilai ilegal, karena tidak ada dasar ­hukumnya. UKG online dengan ­pilihan ganda dinilai bukanlah alat ukur yang tepat untuk mengukur kompetensi guru dan kualitas guru, apalagi kinerja guru. Apalagi UKG hanya menguji 2 dari 4 kompetensi guru, padahal keempatnya tidak bisa diuji dengan cara dicicil tetapi komprehensif menurut perintah undang-undang. Mengenai UKG ini, Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si bersama guru dari FSGI juga menggugat pelaksanaan UKG ke Mahkamah Agung.

Sebagai PNS kekritisan Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si terhadap dunia pendidikan, bukan berarti tanpa ancaman. Ancaman tersebut bisa datang dari mana saja, termasuk dari dinas pendidikan setempat. ”Dulu sewaktu melawan SK Gubenur DKI Jakarta tentang Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) saya pernah dipanggil Sudin pendidikan Jakarta Utara, tapi saya berargumentasi dan membangun dialog dengan mereka”, kenangnya soal dampak dari aktivitas yang ­dilakoninya.

Bagi Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si, sebagai warga negara yang baik, seseorang tidak bisa berdiam diri ketika ada ketidakberesan dalam dunia pendidikan, ­untuk itu, guru juga berhak menilai kebijakan pendidikan nasional, selain itu, guru sebagai warga negara berhak mendapatkan perlindungan perundangan. Hak mengeluarkan pendapat, unjuk rasa bahkan mogok ­dilindungi oleh UU 39/1999 tentang HAM, sebagai WNI, guru PNS juga dilindungi oleh perundangan ini.

Soal putusan MK yang ­akhirnya menghapus RSBI dari ­sekolah negeri, Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si mengaku merasa senang karena perjuangannya tidak sia-sia. Soalnya, ia menjadi salah satu saksi guru yang menjadi saksi penghapusan RSBI.
“Saat menjadi saksi itu penuh ketegangan, karena memang banyak teror yang saya hadapi dari mana-mana. Ada juga dari kalangan guru sekolah lain yang meneror saya pada waktu itu. Banyak yang tak setuju dengan saya ataupun teman-teman guru lain lakukan terhadap kebijakan tersebut, tapi kami melihat ini sangat tidak adil buat pendidikan dan anak bangsa,” kata guru berusia 42 ­tahun ini di sekolah penulis di SMAN 13 Jakarta, ­Jalan Seroja No 1 Rawabadak Utara, Koja, J­akarta Utara.

Dengan dihapusnya RSBI, Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si berharap dana yang telah dialokasikan untuk program RSBI harus segera dialihkan untuk memberi pelatihan tambahan ­kepada guru-guru di semua ­jenjang pendidikan. Menurutnya, guru yang bermutu, juga menentukan kualitas hasil ­pendidikan.

Inti perjuangan Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si selama ini adalah “mendorong terwujudnya pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan di Indonesia”, ini merupakan gagasan yang besar yang tidak mungkin dilakukan sendirian. Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si memandang pendidikan secara makro. Langkah awal yang kemudian dilakukan adalah membangun kapasitas guru, baik daya kritis guru maupun kapasitas dalam praktik mengajar. Tentu ini tidak mudah mengingat depolitisasi terhadap guru telah berlangsung selama 32 tahun. Namun, merasa harus memulai menjadi “guru yang berbeda”, guru yang berani melawan ketidakadilan berbagai diskriminasi dalam segala bentuk, guru yang akan mengajak siswanya untuk berbagi keresahan akan kondisi negeri ini, guru yang akan mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan murid-muridnya. Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si yakin bahwa guru adalah sebuah kekuatan raksasa untuk mengubah negeri ini, namun sayangnya para guru Indonesia merupakan raksasa yang tertidur sangat lelap, saking lelapnya sampai tidak terbangun meski memperoleh berbagai gangguan berat apalagi ringan, benar-benar terlelap hingga tak bergerak, tak melawan meskipun didiskriminasi, diintimidasi, bahkan ditindas. Menerima begitu saja perlakuan dari birokrasi pendidikan yang berkolaborasi dengan kekuasaan tanpa membantah, tanpa melawan dan tanpa memberontak. Karena dia juga pengecut maka dia pun (para guru) tidak pernah mengajak muridnya untuk berani menegakan kebenaran dan keadilan, apalagi mengajak untuk menjadi pemberontak. Kondisi guru Indonesia yang seperti ini, tentu saja penghambat utama dalam mewujudnya pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Apa kita akan menunggu sampai terjadinya Revolusi setelah keadaan Indonesia seperti di Libya, Mesir, Bahrain dan Yaman? Di negara-negara tersebut, Pemerintah mengabaikan pendidikan, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi, tingginya pengangguran, dan tingginya angka penduduk yang buta aksara, serta tingginya angka kemiskinan.

Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si mungkin tidak akan ­pernah berhenti memperjuangan sistem pendidikan Indonesia yang lebih bagus. Ia sangat mencintai profesinya sebagai pengajar, karena itu ia memilih menjadi guru. “Saya gundah atas bangsa ini, itulah mengapa saya memilih berjuang di bidang pendidikan,” ujar guru yang telah menulis 9 buku ini.

Tulisan ini saya buat sebagai Prasyarat dalam Nominasi : Indonesia Islamic Educator Awards 2013, dan Alhamdulillah dari Essay ini Ibu Dra. Retno Listyarti M.Si. berhasil menjadi 7 Pendidik Terbaik Indonesia peraih Indonesia Islamic Educator Awards 2013 pada tanggal 31 Mei 2013 di Aula UPT Perpustakaan UNJ, Rawamangun, Jakarta.

Penulis : Ferly Ferdyant*
*Mahasiswa Semester 6 Jurusan Akuntansi FEUNJ.
Kepala Departemen Sosial Politik BEM FE UNJ.
Staff Departemen Pendidikan Ikatan Mahasiswa Akuntansi Indonesia (IMAI).
Asisten Manajer Auditing Komunitas Jago Akuntansi Indonesia (KJAI).

0 komentar:

Posting Komentar

 
;