Samakah Pajak dengan
Zakat?
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal
dengan nama Al-Usyr (Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith
hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182) atau
Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah “Pungutan
yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” (Lihat Lisanul Arab
9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan
syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab
Al-Arabi)
atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj,
akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan
dengan tanah secara khusus (Lihat Al-Mughni 4/186-203).
Perdebatan antara yang pro dan kontra terhadap sistem pajak sebenarnya bukanlahhal yang baru, karena telah banyak tulisan baik
berupa buku, naskah hasil penelitian, proceeding seminar dan diskusi, dan
lain-lain dari berbagai ulama dan para pemikir Islam. Tulisan tersebut
banyak memuat kutipan hadis hingga pendapat para ulama dari berbagai masa
atau zaman dari yang paling ekstrim menentang hingga yang menghalalkanpemungutan pajak dengan kondisi dan syarat tertentu. Hanya saja memang,
seperti diakui oleh DR. Umer Chapra, pendapat ulama atau pemikir Islam yang menentang
dipungutnya pajak lebih banyak dibandingkan yang sebaliknya. Oleh beliau
pemikiran-pemikiran seperti ini dianggap sebagai pemikiran yang aneh untuk diterapkan
pada zaman atau situasi seperti saat ini (Umer Chapra, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, penerjemah Ikhwan Abidin B,
Tazkia Institute, hal. 294. Ragam istilah yang berbeda
digunakan oleh beberapa ulama untuk pajak, diantaranya dhara’ib, wazha’if,
kharaj, nawa’ib dan kilaf as-sulthaniyyah).
Dasar diharamkannya pajak oleh sebagian ulama
didasarkan pemikiran bahwa pajak berbeda dari zakat. Zakat pada intinya adalah kewajiban yang melekat pada dirinya sebagai
seorang muslim sebagaimana rukun Islam lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT, sedangkan konsep pajak dalam Islam menyatakan bahwa
pajak hanya dapat dikenakan pada kelebihan harta bukan pada penghasilan. Negara
tidak dapat mengenakan pajak langsung seperti pajak penjualan pada barang dan
jasa juga pajak dalam bentuk biaya peradilan, biaya petisi , penjualan atau
pendaftaran tanah, bangunan, atau jenis pajak lain selain yang shari’ah.
Perbedaan yang sangat jelas antara zakat dan pajak diantaranya:
1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut
kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai kelebihan harta yang
telah sampai nisabnya, sedangkan pajak tidak ada kekuatan yang jelas kecuali
ditentukan oleh penguasa di suatu tempat.
2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal ini lantaran
zakat berfungsi untuk mensucikan baik harta atau diri pelakunya. Sedangkan
pajak pada zaman Rasulullah SAW berlaku pada orang-orang kafir yang tinggal di
kekuasaan kaum mislimin.
3. Rasulullah SAW menghapuskan skema penarikan
persepuluh dari harta manusia yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah yang kita
kenal saat ini sebagai retribusi atau pajak. Sedangkan zakat tidak dapat
diperlakukan sama dengan pajak karena zakat termasuk bagian dari harta yang
wajib ditarik oleh imam sebagai pemimpin dan dikembalikan kepada orang yang
berhak.
4. Zakat adalah suatu bentuk syari’at yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya
orang-orang jahiliyah yang asal usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau
non Arab, dan di antara kebiasaan mereka adalah menarik sepersepuluh dari
barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasaannya.
Mengapa Pajak
Diharamkan Dalam Islam?
Pendapat golongan yang mendukung pengharaman
pemungutan pajak salah satunya diperkuat oleh hadist (HR Ahmad dan Abu Dawud).
”Dari abu Khair Radhiyallahu’anhu beliau berkata, Maslamah bin Makhlad
(gubernur Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin
Tsabit Radhiyallahu ’anhu, maka Ia berkata: ’Sesungguhnya para penarik/pemungut
pajak (diazab) di neraka’”( HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).
Imam Abu Ja’far Ath Thawawi Rahimahumullah ( Imam Abu Ja’far Ath
Thawawi Rahimahumullah, kitab Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang
telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah SAW atas kaum muslimin adalah pajak
yang biasa dipungut oleh kaum jahilliyah. Kemudian beliau melanjutkan, ” ………….
hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat”.
Jika pandangan dan kepercayaan yang mengharamkan pajak dipungut terhadap
kaum muslimin tersebut dianut oleh sebagian besar muslim di negara-negara yang
masih menerapkan sistem perpajakan dalam mengumpulkan pendapatan negara guna
membiayai pengeluaran sektor publik, maka bagi mereka tentu bukan pelanggaran
etika atau moral untuk menghindarkan diri dari kewajiban membayar pajak (tax evasion), meskipun mereka juga termasuk orang-orang yang
menikmati pelayanan sektor publik yang dibiayai dari pajak yang tidak mereka
patuhi tersebut (free rider). Manakah yang lebih etis, tidak membayar pajak (karena dicap sebagai praktik yang diharamkan) namun secara ‘gratis’ memanfaatkan fasilitas layanan
publikdibandingkan dengan sikap yang
konsekuen membayar pajak karena menyadari telah memanfaatkan fasilitas layanan
publik untuk mencapai suatu kesejahteraan?
Apakah kita siap untuk tidak menggunakan jalan umum yang dibangun dari
penerimaan pajak, atau tidak bersekolah di sekolah negeri, tidak berobat di rumah sakit umum,
tidak menggunakan BBM yang bersubsidi, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya
yang sebagian besar dibiayai dengan penerimaan pajak? Jika jawabannya siap, maka bolehlah kita tanpa bersalah
tidak membayar pajak, tetapi apakah itu mungkin, setidaknya untuk saat ini? Wallahu ‘alam
bissawab.
Argumentasi Pajak Diperbolehkan Dalam Islam
Robert W. McGee menyatakan bahwa Sistem perpajakan dalam Islam adalah sesuatu yang bersifat sukarela (voluntary). Dalam tulisannya yang berjudul “The Ethics of Tax Evasion and Trade Protectionism from
Islamic Perspective” McGee menyatakan bahwa sebagian besar
muslim percaya bahwa tidak ada suatu keharusan moral bagi mereka untuk mematuhi
peraturan yang mewajibkan membayar pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah ( Robert W. McGee, 1997, The Ethics Of Tax Evasion
and Trade Protection From an Islamic Perspective, Commentaries on Law
& Public Policy: 1:250-262,(http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=461397,
diakses 15 Juni 2009).
Adapun dalam Fiqih Islam telah ditegaskan bahwa pemerintah memiliki
kekuasaan untuk memaksa warga negara membayar pajak bila jumlah zakat tidak
mencukupi untuk menjalankan semua kegiatan pemerintahan. Hak negara untuk meningkatkan sumber daya lewat pajak
di samping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha yang pada prinsipnya
mewakili semua mazhab fiqih(Ibid 4 ) . Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya dana zakat
dipergunakan untuk kesejahteraan kaum miskin padahal negara memerlukan
sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi alokasi, distribusi,
dan stabilisasi secara efektif. Hak ini dibela oleh para fuqaha berdasarkan
hadits Rasulullah SAW:
“Pada hartamu ada kewajiban lain selain zakat”( Ad-Darimi, Sunan
Ad-Darimi (1349 H), vol.1, dan Abu Ubayd, Kitabul Amwaal,dalam
Umer Chapra, ibid 4. Untuk penjelasan yang memuaskan tentang hadis ini, lihat
Al-Qardhawi, Fiqhuz-Zakah (1969), vol.2. hal. 963 ).
Argumen ini juga diperkokoh dengan kaidah ushul (prinsip)
yang menyatakan bahwa, “Suatu pengorbanan yang lebih kecil dapat direlakan
untuk menghindari pengorbanan yang lebih besar” dan bahwa “Sesuatu yang apabila
suatu kewajiban tidak dapat dilakukan tanpanya, maka sesuatu itu hukumnya
wajib.”( Ibid 4 )
Adapun tentang kaidah ushul tersebut, Dr. Umer Chapra memberikan
pembahasan lebih rinci terkait dengan komitmen kepada nilai-nilai Islam dan Maqashid (tujuan-tujuan
syariat), dengan ilustrasi yang menarik dan relevan (Ibid 4,
hal.287-289). Beliau mengatakan Komitmen kepada nilai-nilai Islam dan maqashid
harus dilakukan serentak pada empat perkara. Maqashid akan
membantu terutama mereduksi kesimpangsiuran keputusan pengeluaran pemerintah
dengan memberikan kriteria untuk membangun prioritas. Maqashid akan dapat
diperkokoh dengan sandaran kepada enam prinsip di bawah ini yang diambil dari
kaidah ushul yang telah dikembangkan selama berabad-abad oleh para fuqaha untuk
menyediakan sebuah basis rasional dan konsisten bagi implementasi kaidah hukum
Islam(Majallah al-ahkam al-adliyyah, yang dikenal dengan nama Majallah,
menyebutkan 100 kaidah ushul dalam pembukaannya. Terjemahan ke
dalam bahasa Inggris oleh C.R. Tyser,et al. berjudul The Majelle diterbitkan
tahun 1967 oleh All Pakistan Legal Decision, Nabha Road, Lahore.
Meskipun Majallah merupakan kumpulan maszhab Hanafi yang
dikodifikasikan pada periode Utsmaniyah, kaidah-kaidah tersebut nyaris dipakai
secara universal oleh para fuqaha dari seluruh mazhab. Lihat juga Mustafa A.,
Az-Zarqa, al-Fiqhu al-Islami wa Tsaubuhu al-Jadid (1967),
vol.2, hal.945-1060; dan Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah (1986).
Nomor-nomor yang berada dalam tanda kurung sesudah penukilan kaidah mengacu
kepada pasal Majallah di mana prinsip-prinsip tersebut
diturunkan).
1. Kriteria pokok semua alokasi pengeluaran pajak
harus diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat (pasal 58).
2. Pencegahan kesulitan dan bahaya harus
didahulukan daripada penyediaan kenyamanan (pasal 17, 18, 19, 20, 30, 31, dan
32).
3. Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus
didahulukan daripada kepentingan minoritas yang lebih sempit (pasal 28).
4. Suatu pengorbanan atau kerugian individu dapat
dilakukan untuk menyelamatkan korban atau kerugian publik, dan suatu
pengorbanan atau kerugian yang lebih besar dapat dihindari dengan merelakan
suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil (pasal 26, 27, dan 28).
5. Siapa saja yang menerima manfaat harus membayar
ongkosnya (pasal 87 dan 88).
6. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak
dapat dipenuhi, maka sesuatu itu wajib hukumnya (Lihat Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, hal.394;
lihat juga Mustafa az-Zarqa (1967), vol.2, hal 784 dan 1088).
Kaidah-kaidah ini memiliki bobot yang sangat penting
pada perpajakan dan pengeluaran pemerintah di negara-negara muslim. Untuk
memperjelas implikasinya pada program-program pengeluaran pemerintah, akan di
ilustrasikan dalam contoh di bawah ini.
Oleh karena kesejahteraan harus menjadi tujuan pokok
dari pengeluaran publik menurut kaidah 1, maka kaidah 6 menuntut semua proyek
infrastruktur fisik dan sosial yang akan membantu merealisasikan tujuan ini
melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat, penciptaan lapangan pekerjaan, dan
pemenuhan kebutuhan, harus diberikan prioritas dari proyek-proyek yang tidak
memberikan kontribusi semacam itu. Bahkan, diantara proyek infrastruktur yang
harus dibangun, kaidah 2 menuntut pemberian preferensi kepada proyek-proyek
yang akan membantu menghapuskan kesulitan dan penderitaan yang disebabkan,
misalnya, oleh kekurangan gizi, buta huruf, tuna wisma, dan epidemik, dan
kekurangan fasilitas medis, pasokan air bersih dan sehat, dan limbah. Begitu
pula dengan pengembangan sebuah sistem transportasi publik yang efisien, harus
memperoleh prioritas menurut kaidah 3 karena ketiaadaannya akan mengakibatkan
kesulitan bagi mayoritas penduduk perkotaan, dan berdampak buruk pada efisiensi
dan pembangunan, dan menimbulkan impor kendaraan berlebihan dan pemborosan BBM.
Memang mobil-mobil ini akan memberikan kenyamanan ekstra kepada sebagian kecil
penduduk perkotaan, suatu reduksi pada impor dan diversi tabungan untuk mengimpor
kendaraan umum dapat dibenarkan atas dasar kaidah 4. Tindakan demikian bukan
saja akan mengurangi tekanan pada sumber-sumber devisa, tetapi juga akan
menyediakan pelayanan transportasi bagi mayoritas penduduk, dengan tingkat
kepadatan dan polusi yang lebih rendah di jalan-jalan perkotaan.
Jika prioritas diberikan kepada pemenuhan kepentingan
mayoritas menurut kaidah 3, maka karena mayoritas penduduk tinggal di pedesaan
dan memiliki kecenderungan untuk melakukan urbanisasi ke perkotaan sehingga
menimbulkan persoalan-persoalan sosioekonomi, untuk itu perlu diberikan
stimulasi agar mereka tetap tinggal di pedesaan melalui upaya pengembangan
wilayah pedesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, memperluas peluang
wirausaha dan lapangan kerja, dan memenuhi kebutuhan pokok mereka harus
didahulukan. Hal ini dengan sendirinya akan meningkatkan kondisi kehidupan
perkotaan dengan mereduksi tingkat kepadatan dan desakan-desakan dalam
pelayanan publik.
Jika ketidakmerataan penghasilan dan kekayaan harus
dikurangi, maka yang wajib dilakukan, menurut kaidah 6, adalah peningkatan
kemampuan orang miskin untuk dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dan
akses pada fasilitas pelatihan, pendidikan, dan keuangan yang lebih baik. Hal
ini menuntut pemberian prioritas dalam program pendidikan vokasional di
wilayah-wilayah pedesaan, sehingga siapa saja yang memenuhi syarat dapat
memiliki akses yang sama. Disamping itu, perlu merestrukturisasi sistem
keuangan untuk membiayai pengusaha-pengusaha di pedesaan dan di perkotaan agar
dapat meningkatkan peluang wirausaha dan meningkatkan pasokan barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan
atau menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani (Abu Yusuf, Kitabul
Kharaj (1353 H), dalam Umer Chapra, ibid 4., hal. 294 ). Marghinanii
berpendapat bahwa jika sumber-sumber daya negara tidak mencukupi, negara harus
menghimpun dana dari rakyat untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu
memang dinikmati rakyat, kewajiban mereka membayar ongkosnya (Al-Marghinani,
al-Hidayah (1965), dalam Umer Chapra, ibid 4.)
Semua khulafa ar-rasyidin, terutama Umar, Ali, dan
Umar bin Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan
dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat
untuk membayar,juga jangan sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari. Abu Yusuf berpendapat bahwa sebuah sistem pajak yang
baik tidak saja akan meningkatkan penerimaan, tetapi juga meningkatkan
pembangunan Negara (Abu Yusuf, Ibid., dalam Umer Chapra, Ibid 4. hal. 295). Imam Mawardi
berpendapat bahwa sistem pajak yang adil akan memberikan keadilan kepada para
pembayarnya dan bagi kas penerimaan negara. Terlalu banyak menarik pajak
akan menyebabkan ketidakadilan terhadap hak-hak rakyat dan terlalu sedikit berarti
tidak adil terhadap kas penerimaan Negara (Ibnu Kaldun, Muqaddimah, dalam Umer Chapra, Ibid 4.
hal 295-297). Ibnu Khaldun
dengan cara yang sangat bagus merefleksikan arus pemikiran para sarjana muslim
yang hidup pada zamannya berkenaan dengan distribusi beban pajak yang merata
dengan mengutip sebuah surat dari Thahir bin al-Husain kepada anaknya yang
menjadi seorang gubernur di salah satu provinsi,
“Oleh karena itu, sebarkanlah pajak pada semua orang dengan keadilan dan
pemerataan, perlakukan semua orang sama dan jangan memberi perkecualian kepada
siapa pun karena kedudukannya di masyarakat atau kekayaan, dan jangan
mengecualikan kepada siapa pun sekalipun itu adalah petugasmu sendiri atau
kawan akrabmu atau pengikutmu. Dan jangan kamu menarik pajak dari orang
melebihi kemampuan membayarnya (Ibnu Kaldun, Muqaddimah, dalam Umer Chapra, Ibid 4.
hal 295-297).
Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi
pendapatan yang merata, maka perkembangan sistem perpajakan tampaknya seirama
dengan sasaran-sasaran Islam. Namun, perlu ditekankan bahwa sesuatu yang sangat
relevan bagi kehidupan modern adalah adanya hak negara untuk mengenakan
pajak dengan memenuhi rasa keadilan. Sistem pajak harus disesuaikan dengan
perubahan tingkat kebutuhan, terutama kebutuhan masal terhadap infrastruktur
sosial dan fisik bagi sebuah negara berkembang dan perekonomian modern yang
efisien serta komitmen untuk meralisasikan maqashid (Maqashid
Asy-Syariah (Maqashid) adalah
tujuan-tujuan syariat mengandung semua yang diperlukan manusia untuk
merealisasikan falah danhayatan thayyibah dalam
batas-batas syariat. Imam Ghazali, al-Mustasyfa (1937) dalam
Umer Chapra, Ibid., hal 7-9, memasukkan semua perkara yang dianggap penting
untuk melindungi dan memperkaya keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta
benda dalam maqashid. Dengan sangat bijaksana Imam Ghazalii
meletakkan iman pada urutan pertama dalam daftar maqashid. Karena,
dalam perspektif Islam, iman adalah isi yang sangat penting bagi kebahagiaan
manusia. Imanlah yang meletakkan hubungan-hubungan kemanusiaan pada fondasi
yang benar, memungkinkan umat manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu
pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan
bersama. Iman juga memberikan suatu filter moral bagi alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya menurut kehendak persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi,
disamping menyediakan pula suatu system pendorong untuk mencapai sasaran
seperti pemenuhan kebutuhan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata.
Tanpa menyuntikan dimensi keimanan ke dalam semua keputusan yang dibuat oleh
manusia dengan mengabaikan di mana hal itu terjadi baik itu dalam rumah tangga,
ruang direksi perusahaan, padar atau politbiro, maka tidaklah mungkin
diwujudkan efisiensi dan pemerataan dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber
daya untuk mengurangi ketidakseimbangan makroekonomi dan ketidakstabilan
ekonomi atau memberantas kejahatan, keresahan, ketegangan, dan berbagai simptom penyakit
anomie) dalam konteks masa
sekarang. Sistem tersebut tidak saja harus adil, tetapi juga harus
menghasilkan, tanpa berdampak buruk pada dorongan untuk bekerja, tabungan, dan
investasi, serta penerimaan yang memadai sehingga memungkinkan negara
melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif.
Dalam hukum Islam klasik dikenal tiga sistem pemungutan pajak yaitu:
1. Jizyah atau pajak kepala yang
dikenakan kepada kafir zimmi, yaitu non muslim yang hidup di
negara/pemerintahan Islam dengan mematuhi peraturan dan perundang-undangan
pemerintahan Islam untuk melindungi jiwa, keselamatan, kemerdekaan dan hak-hak
asasi mereka. Dalam menghadapi negara non Islam terdapat tiga pilihan yang
ditawarkan Islam. (1) masuk Islam, (2) membayar jizyah atau (3) diperangi. Bagi
yang masuk Islam mereka aman, tidak diperangi dan tidak ada kewajiban membayar
jizyah.Bagi yang tidak mau masuk Islam ada dua pilihan yaitu membayar jizyah
atau diperangi.
2. Kharaj, yaitu pajak bumi. Ini berlaku
bagi tanah yang diperoleh kaum muslimin lewat peperangan yang kemudian
dikembalikan dan digarap oleh para pemiliknya. Sebagai imbalannya maka
pemiliknya mengeluarkan pajak bumi kepada pemerintah Islam.
3. ‘Usyur, yaitu pajak perdagangan, atau
bea cukai (pajak Impor dan Ekspor). Mengingat bahwa kebutuhan biaya pembangunan
dalam arti luas sangat besar termasuk jalannya roda pemerintahan, maka
dibutuhkan dana yang cukup besar yang tidak dapat ditopang oleh zakat semata,
Islam membenarkan pemungutan pajak.
Para ulama sejak zaman sahabat, seperti Ibnu Umar,
Atha’, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khathab dan lainnya, demikian
pula ulama-ulama mazhab, memberitakan bahwa di samping zakat masih ada lagi
kewajiban muslim terhadap hartanya yang perlu di keluarkan seperti: Infaq,
Shadaqah ataupun pajak.
Dalam hal ini Imam Asy-Syathiby menyatakan secara
tegas “Bila kas negara telah kosong, kebutuhan rakyat dan kemaslahatan umum
tidak terpenuhi, roda pemerintahan tidak akan lancar karena kurangnya
devisa/ pendapatan maka pemerintah yang adil dapat memungut pajak pada
orang-orang yang mampu selain zakat.”
Pajak hukumnya mubah atau boleh (dapat dibenarkan oleh
Islam), sebab kita sepakat bahwa tidak diragukan lagi adanya manfaat besar yang
dapat diraih lewat pajak tersebut.
Pemungutan pajak diperbolehkan dalam Islam seperti
yang dikatakan oleh Monzer Kahf (seorang ahli ekonomi muslim), harus terlebih
dahulu memperhatikan beberapa hal penting diantaranya bahwa:
1) Pajak yang dikeluarkan harus sesuai dengan
kemampuan baik kekayaan maupun sumber penghasilan Wajib Pajak.
2) Orang yang miskin harus dibebaskan dari
membayar pajak.
3) Pajak dapat dilaksanakan jika telah disetujui
oleh wakil rakyat.
4) Alokasi penerimaan pajak harus
dikeluarkan dengan ketentuan syaria’ah.
Dari pendapat Monzer Kahf tersebut dapat disimpulkan
bahwa pajak dapat dikenakan di bawah sistem Islam, selama pendapatan dari pajak
tersebut diperlukan untuk pengembangan dan pertahanan negara serta
kesejahteraan sosial.
Pajak yang diakui dan dianggap sebagai sistem yang
dibenarkan dalam sejarah fiqh Islam harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
1. Apabila penerimaan tersebut betul-betul
dibutuhkan dan mendesak, sementara tidak ditemukan adanya sumber
lain.
Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar-benar membutuhkan
dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh
Muhammad Yusuf Qardhawy. Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan
agar memperhatikan syarat ini sejauh mungkin. Sebagian ulama
mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar-benar kosong.Para
ulama benar-benar sangat hati-hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat,
karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya
dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara
melakukan korupsi hasil pajak. Sultan Zahir Baibas adalah Raja muslim
yang berkuasa pada masa Imam Nawawi. Tatkala negara hendak berperang melawan
tentara Tartar di negara Syam, dalam Baitul Mal tidak terdapat biaya yang cukup
untuk perang. Maka dikumpulkanlah para Ulama dalam Musyawarah, mereka
menetapkan keharusan memungut pajak kepada rakyat untuk membantu biaya
perang. Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan
tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil, sultan
berkata kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”, Akan
tetapi Imam Nawawi tidak bersedia, sultan menanyakan kepada Imam Nawawi
“Kenapa tuan menolak?” Imam Nawawi berkata, “Saya mengetahui bahwa Sultan
dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa- apa,
lalu Allah SWT memberikan kekayaan dan dijadikannya seorang raja, saya dengar
anda memiliki seribu orang hamba, setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari
emas dan andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan.
Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol
saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa
perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat. Mendengar
pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zahir menjadi sangat marah dan berkata:
“Keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “Saya taati perintah
Sultan”, lalu pergilah ia ke kampung Nawa (maka itulah dia digelari Nawawi).
Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, ikutan
kami dan sahabat kami”. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi
beliau menolak dan berkata, “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zahir ada di
sana”, kemudian Sultan pun meninggal.Di antara tulisan berupa nasihat untuk
Sultan Zabir ia berkata, “Tidak halal memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam
baitul mal ada uang atau perhiasan, harta benda atau ladang yang dapat dijual”.
Semoga ini menjadi renungan dan i’tibar bagi umat Islam saat ini, terutama bagi
penguasa, wakil rakyat, dan pejabat pemerintah.
2. Pemungutan Pajak yang Adil.
Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai,
maka pemungutan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syarat. Harus
dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan, jangan sampai
menimbulkan keluhan dari masyarakat. Keadilan dalam pemungutan pajak
didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial, dan kebutuhan yang diperlukan
rakyat dan pembangunan (Qardhawi h. 1081-1082). Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan
tercemar unsur KKN. Jangan prioritaskan pembangunan kampung halaman pejabat itu
saja, tetapi sesuaikan dengan kebutuhan.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai
kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan
kelompok , bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan
keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya. Karena itu, Al-Qur’an
memperhatikan sasaran zakat secara rinci, jangan sampai menjadi permainan hawa
nafsu, keserakahan atau untuk kepentingan money politic. Justru
itulah para Khulafaur Rasyidin dan para sahabat besar menekankan penggunaan
kekayaan rakyat pada sasaran-sasaran yang ditetapkan syariat. Jangan
sampai pajak tersebut menjadi lahan korupsi. Tetapi sangat disayangkan, tidak
sedikit oknum yang menyalahgunakan uang pajak untuk kepentingan pribadi, golongan
dan kroni-kroninya. Itulah bedanya antara Kulafaur Rasyidin dengan raja dan
pejabat yang rakus.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam At-Thabaqat dari Salman bahwa Umar berkata
kepadanya, “Apakah aku ini raja atau Khalifah?”. Salman menjawab, “Kalau engkau
memungut dari negeri muslim satu dirham, kemudian engkau gunakan bukan pada
haknya, maka engkau raja, bukan Khalifah”. Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu
Aufa, Umar bin khattab berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku
ini Khalifah atau raja, bila aku raja, maka ini masalah yang besar”. Seseorang
berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda, Khalifah tidak
akan memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan memberikan sesuatu
kecuali kepada yang berhak. Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang
demikian, sedangkan raja (zalim) akan berbuat sekehendaknya”( Ibid 20,hlm. 1083). Maka Umar
pun terdiam.
4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang
berakhlak.
Para penguasa yaitu Kepala Negara, Gubernur atau Bupati dan Walikota dalam
pemerintahan di daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak,
menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan
dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat serta para wakil rakyat. Selain
itu perlu dijaga harmonisasi ketentuan perpajakan di pusat dan daerah,
karena pada dasarnya, harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas
dari berbagai beban dan tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk
kemaslahatan umum, maka harus dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama.
Musyawarah adalah unsur pokok dalam masyarakat yang beriman, sebagai perintah
langsung dari Allah SWT. Para pejabat pemerintah yang menangani pajak
harus mempertimbangkan secara adil, obyektif dan seksama dan matang dalam
menetapkan mekanisme pajak. Para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
harus menyampaikan dan membawa aspirasi rakyat banyak, bukan hanya memikirkan
kepentingan pribadi atau golongan.
0 komentar:
Posting Komentar