Masih terngiang kah dalam ingatanmu ketika kegelisahan masyarakat terkait kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akhirnya terjawab Jumat 21 Juni 2013. Tepat Pukul 22.00 di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Jalan Lapangan Benteng 2-4 Jakarta, Menteri ESDM Jero Wacik didampingi sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II mengumumkan kenaikan harga BBM. Sesuai hasil pengumuman, harga Premium yang tadinya Rp 4.500 naik menjadi Rp 6.500 dan harga solar naik menjadi Rp. 5.500 dari harga sebelumnya Rp 4.500. Ketentuan tersebut terhitung mulai pukul 00.00 Sabtu 22 Juni 2013.
Kenaikan sebesar Rp 2.000 ini dijanjikan oleh pemerintah akan diganti dengan pemberian dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) kepada rakyat yang kurang mampu. Sebelumnya, pemerintah beralasan bahwa selama ini subsidi BBM terlalu membebani APBN, dan digunakan tidak tepat sasaran. Sehingga akhirnya diputuskanlah kebijakan untuk menghapuskan subsidi BBM dan digantikan dengan BLSM, yang diklaim penyalurannya akan lebih tepat sasaran.
BBM merupakan salah satu hasil dari kekayaan alam berupa minyak dan gas (migas). Kekayaan alam inilah yang seharusnya menjadi aset negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3, yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pasal tersebut menunjukkan bahwa seluruh kekayaan alam di negeri ini, termasuk BBM, seharusnya menjadi hak setiap rakyat. Jika aturan ini benar-benar dilaksanakan, maka jumlah rakyat miskin pasti bisa dikurangi. Namun, kenyataannya ternyata tidak demikian. Karena sebenarnya pasal-pasal yang tertulis dalam UUD 1945 tersebut hanyalah kumpulan teori ideal yang dijadikan formalitas belaka, dan tidak pernah ada realisasinya.
Buktinya, angka kemiskinan di negeri ini masih tergolong cukup tinggi.Pada tahun 2013 diprediksi angka kemiskinan di Indonesia mencapai 26,250 juta jiwa atau sekitar 10,5 persen dari jumlah rakyat secara keseluruhan. (kompas.com, 27/5). Pemerintah sendiri bahkan mengakui salah urus dalam mengelola potensi kekayaan alam negara. Hal ini diakui oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswo Utomo, bahwa kesuksesan ekspor kekayaan alam Indonesia belum mampu menyejahterakan rakyat. (merdeka.com, 25/6).
Apalagi dengan kenaikan harga BBM, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Armida Alisjahbana, diperkirakan jumlah orang miskin tahun ini akan naik 1,6 persen menjadi 12,1 persen atau sekitar 30,250 juta jiwa. Sehingga jumlah orang miskin baru akibat kenaikan harga BBM mencapai 4 juta jiwa. (kompas.com, 27/5).
Kondisi ini tentunya tidak akan terjadi jika pemerintah benar-benar mengalokasikan hasil dari pengolahan sumber daya alam tersebut untuk kepentingan rakyat. Karena selama ini, ternyata migas Indonesia justru dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, seperti British Petroleum (BP), Chevron, Freeport McMoran, Newmont, ConocoPhilips, ExxonMobil, PT Heng Fung Mining Indonesia, Petro China, Total E&P Indonesie, Eramet, Canadian International Development Agency (CIDA), Sheritt International, Vale, dan lain-lain.
Keberpihakan pemerintah kepada perusahaan-perusahaan asing ini, bukanlah semata akibat keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh negeri ini. Karena pada faktanya banyak ilmuwan yang ditelurkan dari berbagai perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia. Sehingga, sejatinya campur tangan asing dalam mengelola sumber daya alam Indonesia ini lebih disebabkan oleh sistem Kapitalisme yang memang memberikan peluang sebesar-besarnya bagi pemilik modal untuk berkuasa. Hal ini diperkuat dengan diterapkannya sistem Demokrasi yang di dalamnya menjamin empat kebebasan, di mana salah
satunya adalah kebebasan berkepemilikan. Kebebasan ini menjadi celah bagi perusahaan asing yang memang memiliki modal lebih besar, untuk menguasai sumber daya alam di Indonesia. Apalagi dengan disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), maka semakin memperkokoh cengkraman asing di negeri yang berdaulat ini.
Lantas, Bagaimana Peran Mahasiswa Pasca Kenaikan BBM ini?
Setelah BBM naik sekitar 2 bulan yang lalu, sepertinya eskalasi gerakan sungguh drastis menurun ditambah adanya dengan masa-masa liburan. Namun sejatinya, tiada hari libur dalam gerakan Mahasiswa. Mahasiswa trus dinamis dan berjuang dalam koridor kebenarannya.
Ada 2 Point yang menjadi sorotan bagi penulis dalam hal ini bagaimana kita sejatinya Mahasiswa mengambil perannya dalam menyoroti kebijakan “yang tidak bijak” dalam kenaikan BBM ini.
1.Trus Mengawal Program BALSEM.
Program BLSM merupakan program kompensasi atas kenaikan harga BBM, yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat miskin. Anggaran untuk BLSM ini adalah sebesar Rp 9,3 triliun dan diberikan kepada 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS). Setiap rumah tangga mendapatkan Rp 150.000 per bulan, selama empat bulan. Namun, benarkah BLSM menjadi solusi yang terbaik bagi rakyat?
Fakta di lapangan menunjukkan, di berbagai tempat, ternyata penyaluran BLSM ini berjalan kurang mulus. Masih ada sebagian masyarakat yang protes karena merasa penyaluran BLSM tidak tepat sasaran. Seperti diungkapkan oleh salah seorang Bendahara Kelurahan di Solo yang mengurusi BLSM. Menurutnya, pendataan penerima BLSM asal-asalan karena terbukti banyak yang salah sasaran. Banyak warganya yang termasuk miskin tapi tidak mendapatkan BLSM. (tempo.co, 25/6). Penyaluran BLSM juga menuai protes di Banyumas Jawa Tengah, lantaran ada salah seorang warga miskin yang tidak menerima jatah padahal kondisinya memprihatinkan.(metrotvnews.com, 25/6).
Selain itu, sejumlah Kepala Desa di Bandung bahkan menolak menyalurkan BLSM karena dinilai tidak bisa memberikan solusi atas kondisi kemiskinan masyarakat saat ini. (tribunnews.com, 23/6). Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang mengaku kecewa dengan langkah pemerintah memberikan BLSM. Menurut Din, program tersebut tidak dapat mengentaskan penderitaan masyarakat miskin. (okezone.com, 24/6).
Itulah sedikit gambaran bahwa ternyata program BLSM masih belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan di negeri ini. Apalagi anggaran senilai Rp 27,9 triliun yang diberikan pemerintah untuk program kompensasi ini, masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan cicilan bunga utang yang rencananya akan dibayar tahun ini sebesar Rp 113,24 triliun. Jika selama ini sering dikeluhkan bahwa APBN banyak terbebani oleh subsidi BBM, maka tidakkah pemerintah terpikir bahwa utang lah yang jauh lebih membebani APBN?
Seperti yang diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, beban cicilan pokok dan bunga utang luar negeri dan dalam negeri alokasinya mencapai 25 persen dari total APBN. Sedangkan besaran subsidi BBM di APBN 2013 hanya sekitar 12 persen dari total APBN. Dan yang sangat disayangkan, meskipun subsidi BBM sudah dikurangi, pemerintah berencana akan menambah utang baru sebesar Rp 390 triliun tahun ini. (koran-jakarta.com, 17/6).
Hal ini benar-benar membuktikan bahwa pemerintah rupanya belum bisa berlepas diri dari utang. Bahkan, demi memenuhi utang tersebut, pemerintah rela mencabut subsidi rakyatnya sendiri. Pemerintah lebih mengutamakan pengabdiannya kepada Barat, daripada pengabdiannya kepada rakyat. Pemerintah justru menjadikan rakyatnya sebagai pengemis BLSM, yang itupun hanya diberikan selama empat bulan. Lantas, setelah empat bulan terlewati, bagaimana nasib rakyat selanjutnya? Mungkin rakyat akan diiming-iming lagi dengan bantuan kompensasi lainnya. Atau bahkan mungkin rakyat akan dijanjikan penurunan harga BBM, sebagai pencitraan partai yang berkuasa agar terpilih kembali di pemilu tahun depan.
2.Mendukung Kebijakan Pemerintah Dalam Hal ini Pemakaian BBM non Subsidi Tepat Sasaran
Pernah kah terpikir oleh kalian rekan-rekan mahasiswa. Berapa dari kita yang kendaraan pribadinya sudah memakai BBM non Subsidi (Pertamax, Pertamax Plus)? Berapa dari kita yang kendaraan pribadinya masih memakai BBM Bersubsidi (Premium)? Berhak kah kita masih menggunakan BBM Bersubsidi?
Pertanyaan tersebut sekiranya cukup dijawab dalam hati karena bahwasanya menjadi sebuah teguran pribadi bagi kita para mahasiswa yang kemarin dan sampai hari ini masih berjuang atas nama kesejahteraan rakyat. Cukup sederhana bukan...
“Perjuangan saya tidak seberat perjuangan kalian, saya dulu melawan penjajah kalian melawan bangsa sendiri ” ( Bung Karno).
Rekan-rekan Mahasiswa sekalian, Sadar ataupun tidak, mengawal kompensasi kenaikan harga BBM adalah gerakan pro rakyat yang setara dengan gerakan menolak/memprotes kenaikan harga BBM. Maka, sungguh bijak jika perjuangan mahasiswa memiliki tujuan yang sama, yaitu atas nama kesejahteraan rakyat.
Hidup Mahasiswa...!!!
Hidup Rakyat Indonesia...!!!
Ferly Ferdyant
Kepala Departemen Sosial Politik BEM FE UNJ 2013-2014.
Kepala Bidang Kajian CIDES - ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) UNJ.
Samakah Pajak dengan
Zakat?
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal
dengan nama Al-Usyr (Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith
hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182) atau
Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah “Pungutan
yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” (Lihat Lisanul Arab
9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan
syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab
Al-Arabi)
atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj,
akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan
dengan tanah secara khusus (Lihat Al-Mughni 4/186-203).
Perdebatan antara yang pro dan kontra terhadap sistem pajak sebenarnya bukanlahhal yang baru, karena telah banyak tulisan baik
berupa buku, naskah hasil penelitian, proceeding seminar dan diskusi, dan
lain-lain dari berbagai ulama dan para pemikir Islam. Tulisan tersebut
banyak memuat kutipan hadis hingga pendapat para ulama dari berbagai masa
atau zaman dari yang paling ekstrim menentang hingga yang menghalalkanpemungutan pajak dengan kondisi dan syarat tertentu. Hanya saja memang,
seperti diakui oleh DR. Umer Chapra, pendapat ulama atau pemikir Islam yang menentang
dipungutnya pajak lebih banyak dibandingkan yang sebaliknya. Oleh beliau
pemikiran-pemikiran seperti ini dianggap sebagai pemikiran yang aneh untuk diterapkan
pada zaman atau situasi seperti saat ini (Umer Chapra, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, penerjemah Ikhwan Abidin B,
Tazkia Institute, hal. 294. Ragam istilah yang berbeda
digunakan oleh beberapa ulama untuk pajak, diantaranya dhara’ib, wazha’if,
kharaj, nawa’ib dan kilaf as-sulthaniyyah).
Dasar diharamkannya pajak oleh sebagian ulama
didasarkan pemikiran bahwa pajak berbeda dari zakat. Zakat pada intinya adalah kewajiban yang melekat pada dirinya sebagai
seorang muslim sebagaimana rukun Islam lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT, sedangkan konsep pajak dalam Islam menyatakan bahwa
pajak hanya dapat dikenakan pada kelebihan harta bukan pada penghasilan. Negara
tidak dapat mengenakan pajak langsung seperti pajak penjualan pada barang dan
jasa juga pajak dalam bentuk biaya peradilan, biaya petisi , penjualan atau
pendaftaran tanah, bangunan, atau jenis pajak lain selain yang shari’ah.
Sistem ekonomi islam sudah mulai dipraktikkan dilapangan dan bukan hanya
menjadi bahan diskusi para ahli. Pada awalnya sistem ini diterapkan dalam
sektor perbankan, dan kemudian juga merambat pada sektor keuangan lainnya
seperti asuransi dan pasar modal. Perkembangannya sangat pesat, saat ini tidak
kurang dari 200 lembaga keuangan Islam telah beroperasi menerapkan sistem
ekonomi islam yang terdapat diberbagai belahan dunia bukan saja dinegara Islam
tetapi juga di negara non muslim.
Dengan munculnya sistem tersebut mau tidak mau lembaga ini pasti memiliki perbedaan dengan lembaga konvensional, karena ia dioperasikan dengan menggunakan sistem nilai syariah yang didasarkan pada kedaulatan Tuhan bukan kedaulatan rasio ciptaan Tuhan yang terbatas. Dengan demikian maka sistem yang berkaitan dengan eksistensi lembaga ini juga perlu menerapkan nilai-nilai islami jika kita ingin menerapkan nilai-nilai Islami secara konsisten. Maka disinilah relevansi perlunya sistem auditing Islami dalam melakukan fungsi audit terhadap lembaga yang dijalankan secara Islami ini.
Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh
Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI)
yaitu :
1. Menentukan tujuan
berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai
bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku
saat ini.
2. Memulai dari tujuan
yang ditetapkan oleh teori akuntansi kepitalis kemudian mengujinya menurut
hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak
hal-hal yang bertentangan dengan syariah.
Langganan:
Postingan (Atom)